ПРОФНАСТИЛ НСК news Kebijakan Pendidikan di Indonesia

Kebijakan Pendidikan di Indonesia

Kebijakan Pendidikan di Indonesia

Sejak saya memulai karir sebagai guru pada tahun 2016 hingga 2020, kebijakan pendidikan di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan. Beberapa kebijakan yang menurut saya kurang menguntungkan meliputi pelaksanaan Ujian Nasional (UN), pembuatan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang membebankan guru, serta perbedaan penghargaan pemerintah antara guru PNS dan guru honorer.

Dampak UN terhadap Guru

Sebagaimana kita ketahui, selama beberapa tahun terakhir, setiap sekolah dari tingkat SD hingga SMA menyelenggarakan UN. Materi yang diuji pada setiap tingkat merupakan hal yang padat dan berfokus pada penilaian aspek kognitif saja. Sementara, pembelajaran di sekolah seharusnya mencakup tiga aspek: kognitif, afektif, dan psikomotor.

Pelaksanaan UN sejatinya tidak mencerminkan penilaian siswa secara menyeluruh. Sangat disayangkan bahwa UN pernah dijadikan indikator keberhasilan klik disini individu siswa, yang menjadi beban tersendiri untuk guru, siswa, dan orang tua. Akibatnya, guru sering kali terpaksa fokus pada aspek kognitif agar siswa dapat menyelesaikan soal-soal UN dengan baik. Banyak try out yang dilakukan pada jenjang SD, terutama di kelas 6, serta tambahan waktu belajar yang dikenal sebagai “pemantapan”.

Pada semester 1 dan semester 2 tahun ajaran 2019/2020, sekolah tempat saya mengajar menyelenggarakan try out dan pemantapan saat kebijakan UN masih berlaku. Proses ini menimbulkan polemik di SD tempat saya bekerja, karena dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) hanya cukup untuk beberapa kali try out dan pemantapan. Di sisi lain, orang tua yang khawatir terus mendesak sekolah untuk menyelenggarakan try out dan pemantapan lebih sering.

Akhirnya, sekolah menyetujui untuk melaksanakan try out dan pemantapan secara lebih intensif berdasarkan permintaan orang tua. Orang tua merasa puas dengan pelaksanaan try out dan pemantapan yang lebih sering tersebut. Namun, bagi guru kelas 6, intensifikasi ini menjadi beban tersendiri, karena tidak hanya menambah jam mengajar, tetapi juga tanpa adanya apresiasi tambahan dari pihak sekolah. Sebagian besar guru kelas 6 di sekolah saya berstatus honorer.

RPP yang Membebani Guru

Sebelumnya, saya mengira karir sebagai guru akan mudah. Namun, setelah menjalani kuliah dan mengikuti program Pendidikan Profesi Guru (PPG), serta mengajar di sekolah, saya menyadari bahwa pekerjaan ini jauh lebih menantang. Guru kini dibebani dengan berbagai tugas administratif, termasuk penyusunan RPP. Mereka harus mengikuti format yang kaku untuk RPP, yang terdiri dari banyak komponen.

Proses penyusunan RPP sangat memakan waktu. Satu dokumen RPP bisa mencapai lebih dari 20 halaman! Waktu yang seharusnya digunakan untuk mempersiapkan dan mengevaluasi pembelajaran banyak teralokasi untuk membuat RPP. Hanya guru yang memiliki manajemen waktu yang baik dan keterampilan teknologi informasi yang dapat menyusun RPP dengan baik. Nyatanya, tidak semua guru memiliki kemampuan tersebut.

Kebijakan Merdeka Belajar

Pada 11 Desember 2019, kebijakan Merdeka Belajar diperkenalkan. Kebijakan ini terkait langsung dengan perubahan dalam pelaksanaan UN dan RPP. Saya sangat mendukung kebijakan ini karena sepertinya bertujuan untuk mengatasi problematika pendidikan di Indonesia yang telah ada sebelumnya. Dalam kebijakan baru ini, UN diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, sedangkan format RPP diringkas menjadi satu halaman.

Saat ini, pendidikan di Indonesia masih dalam fase transisi untuk penerapan kebijakan ini. Di sekolah tempat saya mengajar, sosialisasi mengenai penerapan kedua aspek tersebut masih terbatas. Saya berharap sosialisasi dapat dilaksanakan segera agar implementasi kebijakan ini di tingkat sekolah bisa berlangsung dengan baik.

Related Post