Evolusi konsep pengajaran dalam pendidikan di Indonesia
Sepuluh tahun lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan Agung membuat program Mensa Kejujuran dengan mendirikan 1.000 kantin di sekolah negeri untuk melatih siswa dalam pembentukan karakter dan anti korupsi. Proses ini berakhir dengan kegagalan.
Pabrik anggur ini hanya bertahan pada tahun pertama, setelah itu sebagian besar terancam bangkrut.
Kantin menjual makanan, minuman, dan pernak-pernik yang dibutuhkan siswa di lingkungan sekolah, dengan penjaga kantin click here yang melayani dan mengawasi dagangan tersebut. Siswa mengumpulkan barang-barangnya, membayar dan mengambil kembaliannya. Apa yang telah terjadi? Sebagian besar kilang anggur bangkrut karena barangnya terjual tetapi uangnya tidak ditemukan. Pabrik anggur kekurangan modal.
Kejujuran bukanlah suatu perilaku alamiah, melainkan hasil suatu sistem yang harus dibangun secara sistematis dan berkesinambungan. Ketidakjujuran siswa adalah bagian dari sistem penipuan yang lebih besar di masyarakat. Sistem sosial, termasuk sekolah, tidak mampu menjadikan kejujuran sebagai kebiasaan dan budaya.
Bagaimana seharusnya pembentukan karakter jujur di sekolah? Apa yang salah dengan sistem dan praktik pembelajaran di sekolah selama beberapa dekade?
Mengajar vs. pendidikan
Pada awalnya, sekolah adalah tempat di mana anak-anak dapat menghabiskan waktu luangnya, dengan menghormati hak dasar mereka untuk bermain. Di waktu senggangnya, di bawah bimbingan orang-orang yang berilmu dan berilmu, anak-anak memperoleh pembelajaran berupa literasi, numerasi, dan kecakapan hidup, serta pembelajaran yang berkaitan dengan moralitas, agama, dan estetika. Di satu sisi, hasil pengajaran dapat diukur melalui lamanya bersekolah, mulai dari sekolah dasar hingga universitas. Sebaliknya, hasil akademis dinilai berdasarkan tingkah laku sehari-hari seseorang dalam kehidupan berkeluarga dan lingkungannya.
Manajemen sekolah di Indonesia mencerminkan evolusi historis dari departemen atau kementerian yang mengelolanya. Pada awal kemerdekaan (1945-1950) nomenklatur yang digunakan adalah Departemen Pendidikan yang menterinya adalah Ki Hadjar Dewantara. Pada enam kabinet berikutnya, nomenklatur pengajaran tetap digunakan, tanpa mencantumkan kata pendidikan. Enam kabinet berikut menggunakan nomenklatur Kementerian Pembelajaran, Pendidikan dan Kebudayaan.
Pada awal kemerdekaan, para pemimpin bersatu dalam perjuangannya mengurus negara dan bangsa. Mayoritas masyarakat antusias mendukung perjuangan para pemimpin nasional. Kepentingan bangsa adalah prioritas perjuangan nasional. Jadi kalau di sekolah biasanya mereka lebih memikirkan pengajaran untuk mentransfer ilmu dan keterampilan guna mencerdaskan bangsa. Pada kabinet-kabinet berikutnya (1951-1966), pemerintah mulai menggunakan nomenklatur Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K). Selain itu, kata pendidikan selalu dikedepankan.
Pada masa ini, kepentingan kelompok-kelompok di dalam partai mulai menguat. Masing-masing pihak berperang atas dasar ideologi yang cukup jelas, seperti agama, nasionalisme, sosialisme, atau komunisme. Namun karena masing-masing ideologi berbeda dan memiliki jurang pemisah yang dalam, para pimpinan partai mulai kesulitan untuk bersatu. Mereka sibuk memperjuangkan kepentingan partai dan ideologinya masing-masing. Hal ini menciptakan argumen, perselisihan, konflik dan persaingan.
Masyarakat mengamati kondisi ini dan sering menirunya. Oleh karena itu, para politisi publik mulai memikirkan perlunya pendidikan moral (karakter) yang antara lain menanamkan perilaku santun, kepedulian terhadap sesama, dan menghargai keberagaman.